Ken Rogoff mengatakan bahwa 'pendaratan kasar' salah satu mesin utama pertumbuhan dunia tak bisa diabaikan.
"Cina tengah menghadapi revolusi politik yang besar. Dan menurut saya ekonominya melambat lebih besar daripada yang diperlihatkan oleh data resmi," katanya.
Rogoff menambahkan: "Jika Anda ingin melihat bagian di dunia ini yang memiliki masalah utang, lihatlah Cina. Mereka mengalami pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh kredit dan ini tidak bisa berlangsung selamanya."
Pekan lalu, Bank of International Settlements, atau lembaga penelitian global untuk bank-bank sentral, mengatakan bahwa rasio utang Cina pada PDB berada di 30,1%, menambah ketakutan bahwa ledakan ekonomi Cina berdasar pada gelembung kredit yang tak stabil.
Angka itu dinilai "sangat tinggi dalam standar internasional" oleh Komite Kebijakan Finansial dari Bank Sentral Inggris, yang kini akan menguji seberapa terpapar bank-bank Inggris pada perlambatan di Cina.
Bank-bank di Inggris memiliki US$530 miliar (atau hampir Rp7.000 triliun) dalam wujud pinjaman dan bisnis di Cina, termasuk Hong Kong, atau sekitar 16% dari semua aset asing yang dipegang oleh bank Inggris.
'Kekhawatiran'
"Semua orang bilang Cina berbeda, bahwa negara memiliki apapun yang bisa mereka kendalikan," kata Rogoff, yang sekarang menjadi profesor ekonomi di Harvard.
"Sampai pada titik tertentu. Jelas ini sebuah kekhawatiran, pendaratan yang tak mulus di Cina. Sejauh ini kita sudah mengalami pendaratan yang tajam dan saya khawatir Cina mulai menjadi masalah. Kita sudah menganggap biasa apa yang dilakukan Eropa, Jepang, dan setidaknya Cina bergerak dan tak ada pengganti untuk Cina. Saya rasa India mungkin akan mengikuti, tapi dari segi ukuran dia sudah ketinggalan sehingga tak akan bisa menjadi kompensasi."
Rogoff mengatakan bahwa ekonomi Eropa dan AS harus memastikan bahwa mereka "kuat berdiri" sebelum perlambatan mulai berdampak.
"IMF sudah menurunkan prediksi pertumbuhan ekonomi mereka selama sembilan tahun berturut-turut dan rumor pastinya mereka akan melakukan ini lagi," katanya.
Selain Cina, Rogoff mengatakan ada ketidakpastian di dunia soal apakah Donald Trump atau Hillary Clinton yang akan memenangkan pemilihan presiden AS.
Menurutnya, sulit untuk menilai apa yang akan dilakukan Trump jika dia menang, dan apakah Clinton, jika menang, akan dihambat rencana soal pembelanjaan infrastrukturnya oleh DPR yang dikuasai Partai Republik.