Banyak orang mengatakan, posisi mereka bisa aman karena mereka bekerja di perusahaan besar. Siapa bilang perusahaan besar tidak bisa bangkrut. Banyak perusahaan raksasa dunia yang mengalami hal ini pada tahun 2008 dan 2009. Misalnya Lehman Brothers mengumumkan kerugian bertahap sebelum akhirnya bangkrut. Pada 16 Juni 2008, perusahan itu mengumumkan kerugian senilai 2,8 miliar dolar AS untuk paruh ke-dua 2008. Dilanjutkan dengan kerugian sebesar 3,9 miliar dolar AS pada paruh ke-tiga 2008 (10 September) dan berujung pada pengumuman kepailitan nya pada 15 September 2008. Keguncangan serupa juga dialami secara hampir bersamaan oleh Merryl Lynch, Citigroup (sebelum di akuisisi menjadi pengusaha timur tengah) AIG dan berbagai lembaga keuangan besar lain.
Ini terjadi bukan hanya sektor keuangan tetapi berimbas juga kepada sektor real dengan kerugian besar berbagai perusahan besar di AS seperti General Motors, Ford, dan Chrysler sehingga mengancam kelangsungan kerja ribuan karyawannya. Benar saja, tingkat pengangguran di AS meningkat mencapai 6,7% seiring dengan peningkatan pesimisme dikalangan konsumen dan investor sepanjang kurun september sampai november 2008. Itu merupakan tingkat pemutusan hubungan kerja (PHK) terbesar dalam 34 tahun terakhir. Tercatat 533.000 karyawan di-PHK dan mencapai total 1,91 juta orang pada tahun 2008. Dan pada tahun 2009 ada sekitar 500 perusahaan publik mengumumkan rencana PHK dengan jumlah total 138.252. Pada tahun 2015 dan 2016, perlambatan ekonomi global termasuk indonesia membuat merosotnya harga minyak dunia yang berdampak pada PHK besar-besaran terhadap karyawan. Misalnya Microsoft yang memangkas jumlah karyawannya sebanyak 2.850 orang dalam kurun waktu 12 bulan dan masih berencana akan memangkas kembali sebanyak 4.700 orang. Intel juga melakukan pemangkasan sebanyak 12.000 orang. Erikson Mobile juga melakukan pemangkasan sebanyak 3.000 orang dan juga twitter yang sangat familiar bagi kita sebanyak 300 orang dari total 4000 karyawan.
Bahkan perusahaan Minyak atau OIL&GAS sebagai tempat impian para pencari kerja, melakukan banyak PHK terhadap karyawannya, misalnya:
- Perusahaan minyak asal Inggris, BP terhadap 7.000 karyawannya.
- Schlumberger PHK terhadap 10.000 karyawannya
Baru-baru ini dalam rilis data perusahaan multinasional yang melakukan perampingan perusahaan semakin menimbulkan keresahan dan masa depan karyawan yang mengkhawatirkan.
- Boeing, perusahaan pembuat pesawat dan senjata asal Amerika Serikat yang berencana memecat karyawannya yang akan dimulai 23 Juni mendatang, setelah sebelumnya sebanyak 1,500 mekanik dan 305 insinyur sudah setuju meninggalkan Boeing.
- HP (Hewlett Packard) yang rencana memangkas karyawannya sebanyak 4000 orang setelah sebelumnya telah memecat 3000 karyawan. Dan masih banyak lagi
Apakah ini berimbas di Indonesia? Sudah jelas tentu. Misalnya baru-baru ini, 2 raksasa elektronik mengumumkan tutup di Indonesia dan berpotensi PHK karyawan sebanyak 2.500 orang. Dan daftar yang sudah masuk dalam kurun tahun Januari-Maret 2016 yang akan melakukan PHK adalah Shamoin, Starlink, Jaba Garmindo, Yamaha, Astra Honda, Hino, Astra Komponen, dan lainnya. Coba kita bayangkan berapa banyak jumlah karyawan yang akan di PHK.
Pada tahun 2014 dari data Badan Pusat Statistik sampai bulan agustus jumlah total pengangguran terdidik (alumni perguruan tinggi) mencapai 688.660 orang. Hal ini selain dari alasan tersebut, adalah jumlah pertumbuhan lulusan perguruan tinggi dan jumlah lapangan pekerjaan tidak sebanding. Bahkan kadang kala dalam perlambatan ekonomi selama 3 tahun terakhir ini, banyak perusahaan yang tutup dengan melakukan PHK besar-besaran tetapi jumlah lulusan setiap tahunnya tidak terbendung. Pertanyaannya, bagaimana solusi yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi ini? Sampai sekarang belum ada solusi teknis secara pasti. Bahkan wakil menteri pendidikan mempertanyakan program pendidikan 4 tahun apakah perlu diganti dengan membuat pendidikan bersertifikat selama 6 bulan supaya bisa langsung bekerja di sejumlah negara. Tetapi dari data yang saya buat diatas dengan hal yang terjadi kepada sejumlah perusahaan multinasional secara global, apakah ini solusi yang nyata